Resume Kuliah Praktek Peradilan Agama
Oleh: Hasanusi (130 807 979)
1. Sejarah Peradilan Agama di Indonesia
Peradilan agama di Indonesia pertama kali diperkenalkan oleh penguasa Mataram. Peradilan Agama di Indonesia mempunyai sejarah yang cukup panjang, jauh sebelum bangsa ini memperoleh kemerdekaan. Para pakar dan ahli hukum sejarah sepakat bahwa sistem Peradilan Agama di Indonesia sudah dikenal sejak Islam masuk ke bumi Indonesia pada abad ke-7 Masehi. Pada masa itu hukum Islam mulai berkembang di wilayah nusantara bersama-sama dengan hukum adat. Kendati demikian, dalam perjalanannya keberadaan peradilan agama mengalami pasang surut.Muchtar Zarkasyi dalam artikelnya tentang Sejarah Peradilan Agama di Indonesia menjelaskan, hukum Islam telah dipakai oleh masyarakat Indonesia, sebelum Belanda melancarkan politik hukumnya di Indonesia.Ia menjelaskan, hukum Islam sebagai hukum yang berdiri sendiri telah mempunyai kedudukan yang kuat, baik di masyarakat maupun dalam peraturan perundang-undangan negara. Kerajaan-kerajaan Islam yang pernah berdiri di Indonesia, melaksanakan hukum Islam dalam wilayah kekuasaannya masing-masing.Kerajaan Islam Pasai yang berdiri di Aceh Utara pada akhir abad ke-13 M, merupakan kerajaan Islam pertama yang kemudian diikuti dengan berdirinya kerajaan-kerajaan Islam lainnya, seperti Demak, Jepara, Tuban, Gresik, Ngampel (Surabaya), dan Banten.Di bagian Timur Indonesia berdiri pula kerajaan Islam, seperti Tidore dan Makassar. Pada pertengahan abad ke-16, kerajaan Mataram yang menguasai wilayah Jawa Tengah, berhasil menaklukkan kerajaan-kerajaan kecil di pesisir utara. Kerajaan Mataram ini memiliki peranan besar dalam penyebaran Islam di nusantara. Dengan masuknya penguasa kerajaan Mataram ke dalam agama Islam, maka pada permulaan abad ke-17 M penyebaran agama Islam hampir meliputi sebagian besar wilayah Indonesia.Penyebaran agama Islam yang merata hampir ke seluruh wilayah Indonesia, menumbuhkan komunitas-komunitas masyarakat Islam di wilayah-wilayah tersebut. Dengan timbulnya komunitas-komunitas ini, maka kebutuhan akan lembaga peradilan yang memutus perkara berdasarkan hukum Islam makin diperlukan.Sistem peradilan agama di Indonesia pertama kali diperkenalkan oleh penguasa Mataram. Sistem Peradilan Pradata dan Peradilan Padu yang telah dikenal jauh sebelum Islam datang dihapus untuk kemudian digantikan dengan sistem Peradilan Serambi yang berasaskan Islam. Penggantian ini bertujuan untuk menjaga integrasi wilayah Kerajaan Mataram. Sebagai bagian dari mekanisme penyelenggaraan kenegaraan, keberadaan peradilan agama sempat mengalami pasang surut ketika Sultan Agung meninggal dan digantikan oleh Amangkurat I. Saat berkuasa, Amangkurat I pernah menutup peradilan agama dan menghidupkan kembali Peradilan Pradata. Namun, setelah ia mangkat, peradilan agama kembali dihidupkan. Daniel S Lev dalam bukunya yang bertajuk Islamic Courts in Indonesia: A Study in The Political Bases of Legal Institutions, mengungkapkan, pada awal proses pembentukan lembaga peradilan yang berdasarkan hukum Islam, proses penyelesaian sengketa masih dilakukan secara sederhana.Dalam keadaan tertentu, terutama bila tidak ada hakim di suatu wilayah tertentu, maka dua orang yang bersengketa itu dapat bertahkim.
2. Wewenang / kompetensi peradilan agama
a. Kompetensi relative pengadilan Agama
Dalam pasal 54 UU No. 7 Tahun 1989 ditentukan bahwa acara yang berlaku pada lingkunga peradilan Agama adalah hukum acara perdata yang brlaku pada lingkungan perdilan Umum. Oleh karena itu, landasan untuk menentukan kewenangan relative pengadilan Agama merujuk kepada ketentuan pasal 118 HIR. Atau pasal 142 R.Bg. jo pasal 66 dan pasal 73 UU No. 7 Tahun 1989.
b. Kompetensi Absolute pengadilan
Kewenangan mutlak (kompetensi absolute) peradilan meliputi bidang-bidang perdata tertentu yang termuat dalam pasal 49 ayat (1) No. 7 Tahun 1989 dan berdasar atas asas personalitas keislaman. Dengan perkartaan lain, bidang-bdiang tertentu dari hukum perdata yang menjadi kewenangan absolute peradilan agama adalah bidang hukum keluarga dari orang-orang yang Bergama Islam.
3. Proses administrasi dan legitasi perkara di Peradilan Agama
Proses administrasi perkara di pengadilan agama secara singkat adalah sebagai berikut:
a. Penggugat atau kuasanya datang ke bagian pendaftaran perkara di pengadilan Agama, untuk menyatakan bahwa ia ingin mengajukan gugatan.
b. Penggugat wajib membayar uang muka (coorschot) biaya atau ongkos perkara (pasal 121 ayat 4 HIR)
c. Panitera pendaftaran perkara menyampaikan gugatan kepada bagian perkara, sehingga gugatan secara resmi dapat diterima dan didaftarkan dalam buku register perkara.
d. Setelah didaftar, gugatan diteruskan kepada ketua pengadilan Agama dan diberi catatan mengenai nomor, tanggal perkara dan ditentukan hari sidangnya.
e. Ketua pengadilan agama menentukan manjelis hakim yang akan mengadili dan menentukan hari sidang.
f. Hakim ketua atau hakim majlis memeriksa kelengkapan surat gugatan.
g. Panitera memanggil penggugat dengan membawa surat panggilan sidang secara patut; dan
h. Semua proses pemeriksaan perkara dicatat dalam berita acara persidangan.
4. Tahapan persidangan
Pada hari sidang yang ditentukan, pemohon dan termohon atau masing-masing kuasanya menghadiri sidang pengadilan Agama, setelah menerima surat panggilan yang sah. Majlis hakim pada saat memulai sidang memberi kesempatan atau berusaha agar pemohon dan termohon berdamai, kembali rukun sebagai suami istri.
- Sidang Pertama
- Sidang II, Jawaban
- Sidang III, replik
- Sidang IV, Duplik
- Sidang V, pembuktian
- Sidang VI, kesimpulan
- Sidang VII, penetapan Hakim
5. Pembuktian
Ada beberapa alat bukti yang dapat diajukan dalam persidangan di pengadilan berdasarkan Hukum Islam, antara lain:
- Ikrar (pengakuan)
- Syahadah (saksi)
- Yamin (sumpah)
- Riddah (murtad)
Alat bukti yang digunakan di peradilan Agama
- Pembuktian dengan surat
- Keterangan saksi
- Persangkaan Hakim
- Pengakuan, dan
- Sumpah
6. Upaya banding
Banding ialah permohona yang diajukan oleh salah satu pihak yang terlibat dalam perkara, agar penetapan atau putusan yang dijatuhkan pengadilan agama diperiksa ulang dalam pemeriksaan tingkat banding oleh pengadilan tinggi agama.
a. Tenggang waktu permohonan banding
- 14 hari setelah putusan di ucapkan, apabila waktu putusan diucapkan pihak pemohon banding hadir di persidangan, atau
- 14 hari sejak putusan diberitahukan apabila pemohon banding tidak hadir pada saat putusan di ucapkan di persidangan.
- Jika perkara predeo, terhitung 14 hari dari tanggal pemberitahuan putusan dari pengadilan tinggi kepada pemohon banding (pasal 7 ayat 3)
b. Permohonan banding disampaikan kepada panitera pengadilan yang memutus perkara pengadilan agama yang hendak disbanding.
c. Yang berhak mengajukan : 1) pihak berperkara 2) kuasanya setelah mendapat kuasa khusus.
d. Bentuk permintaan banding: 1) dengan lsian 2) secara tertulis
e. Biaya banding di bebankan kepada pemohon bukan kepada pihak termohon.
f. Panitera bertugas:
1. Merigestrasi (pendaftar) permohonan
2. Membuat akta banding
3. Melampirkan akta banding dalam berkas perkara sebagai bukti dari PTA
4. Juru sita menyampaikan pemberitahuan permohonan banding kepada pihak lawan.
5. Penyampaian pemberitahuan (inzage) di sampaikan kepada kedua belah pihak yang berperkara.
6. Penyampaian memori banding:
Memori banding bukan syarat formal, seperti di tugaskan dalam putusan MA tanggal 14 Agustus tahun 1957 No. 143K/Sip/1956.
a. Tenggang waktu mengajukan memori banding tidak terbatas.
b. Harus memberitahu dengan relas adanya memori banding kepada pihak lawan.
c. Harus memberitahu dengan relas adanya kontra memori banding kepada pemohon banding.
7. Upaya Kasasi
Kasasi adalah suatu upaya hukum biasa yang kedua, yang diajukan oleh pihak yang merasa tidak puas atas penetapan dan putusan dibawah Mahkamah Agung.
- Syarat-syarat kasasi
· Diajukan oleh pihak pihak yang berhak mengajukan kasasi
· Diajukan masih dalam tenggang waktu kasasi
· Putusan atau penetapan judex factis menurut hukum dapat dimintakan kasasi.
· Membuat memori kasasi
· Membayar panjar (uang muka) biaya kasasi
8. Upaya peninjauan kembali
Peninjauan kembali atau request civiel yaitu memeriksa dan mengadili atau memutus kembali putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan tetap karena diketahui terhadap hal-hal baru yang dulu tidak dapat diketahui maka keputusan hakim akan menjadi lain.